Bacaan Efesus 3:14-21, Mzr 33, Lukas 12: 49-53
Pencinta Sang Sabda yang terkasih dalam Kristus.
Sabda Tuhan mengandung banyak pesan kehidupan yang bisa kita renungkan. Begitupun Injil hari ini menampilkan multi pesan dan tanggapan yang variatif. Di satu sisi, kita bersyukur bahwa Allah berkenan menyapa kita dalam sabda-Nya dan Ia senantiasa melengkapi hidup kita setiap hari dengan Sapaan kasih-Nya. Namun di sisi lain, kisah Injil hari ini setidaknya membuat kita sedikit bingung dan bertanya-tanya: Yesus yang mana yang mesti kita yakini, entahkah Yesus yang membawa damai atau Yesus yang membawa pertentangan?
Dalam perikop lain, Yesus menegaskan dirinya sebagai pembawa damai dan sukacita sementara dalam teks Injil hari ini, dari mulut-Nya sendiri, Yesus menyatakan dirinya sebagai pembawa api yang memisahkan dan membawa pertentangan bahkan memisahkan orang-orang dalam rumah sendiri. Bukankah perkataan ini sungguh keras. Bagaimana mungkin, Yesus yang adalah Allah tega memisahkan kita dari orang-orang yang kita kasihi? Sebenarnya apa yang Yesus inginkan untuk kita perbuat?
Pencinta Sang Sabda yang terkasih
Sejak awal kehadiran-Nya di bumi, Yesus menjadi sosok yang membawa pertentangan, misalkan saja, bagaimana mungkin, Dia yang adalah Raja yang dinantikan, jutru lahir di kandang dan dikunjungi oleh para gembala? Atau bagaimana mungkin, seorang raja diramalkan akan mati di salib? Karena itu, sudah sejak awal, banyak orang yang meragukan kuasa Yesus. Di kalangan orang Farisi dan Ahli taurat pada masanya, Yesus begitu dibenci karena ajaran-Nya mengganggu kemapanan mereka. Pertentangan dan pemisahan itu muncul di antara mereka yang menerima Yesus dan ajaran-Nya, dan mereka yang menentang Kristus dan ajaran-Nya. Sepanjang hidup-Nya di dunia, Kristus adalah tanda pertentangan “a sign of contradiction,” Akan tetapi, Yesus tetap setia membawa api ke bumi yaitu api cinta kasih Allah yang selalu bernyala.
Pertentangan itu bukan hanya terjadi pada zaman Yesus melainkan juga ada pada zaman kita dan bahkan pada zaman ini, pertentangan itu menjadi sangat kuat. Ada banyak nilai-nilai yang ditawarkan dunia yang terkadang tak sejalan dengan amanat kristiani:
- di saat dunia mengajak kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya sebagai jaminan kebahagiaan, Kristus justru menawarkan cara hidup yang menekankan pengumpulan harta surgawi sebagaimana Paulus yang rela kehilangan segala-galanya demi Kristus;
- Ketika dunia terjerumus dalam cara hidup yang mendewakan tubuh demi mendapatkan kepuasan, ajaran Kristisni justru menekankan kemurnian hati;
- ketika dunia terjabak dalam virus egoisme dan individalsitik yang buta, Iman kita sebaliknya mengajarkan pemberian diri bagi sesama dalam karya pelayanan cinta kasih.
Di sinilah kita ditantang, entahkah mengikuti tawaran dunia atau tetap berpegang teguh pada ajaran Kristus. Entahkha setia membawa api cinta Kritus ataukah membiarakannya padam tertiup angin sekuralisasi.
Saudara/i terkasih,
Menjadi kristen di zaman ini, bukanlah perkara yang muda apalagi bila dituntut menjadi orang kristen yang militan. Ada banyak tantangan yang sudah dan bakal kita hadapi. Tak jarang, hanya karena kita kristen, kita mendapat banyak cibiran dan ungkapan sinis dari sesama kita. Kita dikatakan orang kafir lah, sok suci lah, kolot lah, tidak modis la, kurang pergaulan lah atau semacamnya. Namun Tuhan Yesus sudah memperingatkan kepada kita, agar kita teguh memegang ajaran-ajaran-Nya. Jangan malu dan takut untuk menjadi orang Kristen yang militan sebab Allah kita adalah Allah yang setia yang tidak akan meninggalkan orang yang mengasihi-Nya berjalan seorang diri.
Jika pada zaman jemaat kristen perdana, para jemaat begitu miltan mempertahankan imannya meskipun harus dibunuh, lantas mengapa zaman ini kita takut menajadi Kristen hanya karena malu dianggap berbeda. Bukankah kita mestinya bersyukur karena boleh menjadi pembawa terang dalam kegelapan, pembawa damai di tengah kekacauan, pembaca sukacita di tengah kegalauan dan pembawa harapan ditengah keputusasaan? Marilah kita berusaha menjadi orang Kristen yang sejati. Tuhan memberkati.
Oleh Frt. Deny Galus, SVD (Frater Tingkat V Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero)