Ajaran Yesus mengenai diriNya sebagai Roti Hidup adalah suatu peryataan yang sulit-sulit gampang dipahami tapi juga bisa gampang-gampang sulit khususnya bagi orang yang hidupnya sudah dikuasai oleh ketergantungan pada hal-hal material-jasmaniah. Bagi mereka yang belum pernah atau masih berjuang menemukan kebenarannya dalam kehidupan mereka sendiri akan sedikit bahkan sulit memahami ajaran Sang Guru itu. Namun bagi mereka yang sudah mengalami kebenarannya akan dengan mudah memahami ungkapan Yesus tersebut.
Terlepas dari sudah atau belum mengalami, Yesus mau meneguhkan kita bahwa DiriNya adalah Roti Hidup sebenarnya mau menunjukkan satu kebenaran hakiki kepada kita bahwa Dialah penjamin Hidup sesungguhnya yang sanggup memberikan kekuatan jasmani dan terlebih rohani berupa kedamaian, kelegaraan, sukacita dan bahagia. Sebab itu untuk bisa bertahan dalam hidup di dunia sementara dan bisa mendapatkan hidup kekal di dunia akhirat nanti, kita perlu menguatkan diri kita bukan hanya dengan makanan jasmani tetapi juga dengan makanan rohani. Keduanya dibutuhkan oleh diri kita yang terdiri dari jiwa dan raga kita. Makan makanan jasmani untuk menguatkan raga kita dan makanan rohani menguatkan kita jiwa kita sehingga kita tumbuh sebagai pribadi yang seimbang dan harmonis.
Dan kenyataan hidup manusia membenarkan hal ini yakni bahwa manusia hidup sehat tidak dari makanan jasmani saja. Dia bisa mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi tapi apalah artinya kalau pada saat yang sama pikiran dan hatinya banyak ‘menyatap’ hal-hal negatif seperti kemarahan, iri hati, cemburu, lobah harta, gila kuasa dll yang membuat dia tidak nyaman dan damai. Sebaliknya orang bisa saja makanan jasmani yang sederhana tapi sehat sejahtera karena hati dan pikiran selalu diliputi oleh rasa damai dengan diri dan orang lain, suka cita serta ketenangan hidup.
Contoh-contoh konkret ini meyakinkan kita mengakui bahwa untuk hidup sehat tidak hanya bertumpu pada hal-hal jasmaniah tapi soal situasi pikiran dan hati bathin juga turut bahkan sangat menentukan kebahagiaan hidup. Malah perjalanan ziarah bathin seiring usia akan menyadarkan dan meyakinkan kita bahwa justru hal rohani lebih dibutuhkan dalam ziarah iman kita bersama Tuhan. Kita pun makin dicerahi untuk memahami juga ajaran Yesus bahwa kita hidup bukan hanya dari hal-hal jasmani saja tapi hal-hal rohani juga (Matius 4:4). Pengalaman inilah yang meneguhkan Sostenes, filsuf brilliant itu sehingga mengatakan bahwa manusia dibentuk oleh apa yang ia doakan. Atau dalam terang kata-kata St Paulus dalam Roma 14:17 dikatakan di sana: Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh. Karena itu sangat tepat anjuran Yesus dalam Matius 6:33 agar kita perlu mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya dan hal-hal akan ditambahkan kepada kita. Penemuan kebenaran tersebut akan membuat kita seperti Filipus terdorong untuk mewartakan kebenaran, damai sejahatera dan suka cita karena di saat kita mengupayakan hal-hal tersebut bagi orang lain, di saat yang sama kita dapatkan untuk hidup kita.
Semoga kita makin dicerahi dan diyakinkan bahwa untuk bahagia dalam hidup tidak saja dijamin oleh hal material jasmaniah tapi terlebih oleh hal-hal rohaniah. Semoga Ekaristi Kudus menjadi saat emas kita mendapatkan kekuatan Roti Hidup dari Sabda dan Tubuh-Daah Tuhan. Kiranya dengan pengalaman penemuan akan kebenaran ini makin meneguhkan kita untuk menjadi Filipus-Filipus yang dengan suka rela dan penuh keberanian mewartakan Kerajaan Allah sehingga semakin banyak orang yang menemukan Yesus sebagai Roti Hidup penjamin hidup sejati dan turut mengalami kasih dan kekuatan Tuhan, Sang Roti Hidup.
Tuhan memberkati kita sekalian
Oleh. Romo Aldus Muspida, SVD
Misionaris SVD yang pernah berkarya di Botswana-Afrika dan sekarang mengabdi di Nias- Keuskupan Sibolga, Sumatra
Kisah perjuangan Santu Stefanus hingga harus kehilangan nyawa demi kebenaran memberikan pesan tersendiri yang perlu direnungkan dan ditindaklanjuti penghayatannya. Karena mencermati sebab-musabab peristiwa ini sesungguhnya kita akan menemukan hal-hal demikian masih terus terjadi dalam kehidupan kita di zaman sekarang. Antara lain sikap tidak mau dituntun oleh kebenaran dan kebaikan sejati. Inilah penyebab utama penganiayaan kejam terhadap Stefanus disebabkan oleh ‘rasa tersinggung’ para penatua, ahli Taurat dan Imam Besar orang Yahudi yang merasa ‘dipojokkan’ oleh kata-kata Stefanus.
Padahal kalau dicermati dengan hati bening kita akan menemukan bahwa apa yang dikatakan Stefanus itu benar dan bertujuan mengarahkan kembali hidup mereka yang sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Taurat. Sebagai seorang yang dipenuhi Roh Allah, Santu Stefanus mau mengarahkan mereka kepada jalan hidup yang baik, benar dan membahagiakan mereka. Sayang mereka yang sudah terkontaminasi dengan hal-hal duniawi seperti persaingan tidak sehat, iri hati, cemburu, gengsi dan gila hormat justru melihat ajakan Stefanus sebagai sesuatu yang menggelitik mereka. Karena itu mereka tak segan-segan merajam Stefanus hingga mati.
Belajar dari kisah tragis ini kita diigatkan agar dalam kita berupaya sebisa mungkin menghindarkan diri dari sikap sok tahu dan sok benar seperti para pempimpin Yahudi karena bisa membuat kita menjadi figure-figure yang anti kritik, suka iri hati, cemburu, suka bersaing secara tidak sehat. Santu Paulus menasihati kita dalam 2 Kor. 9:2 agar kita mengupayakan hal-hal baik, benar dan mulia sehingga kegiatan kita menjadi perangsang bagi banyak orang untuk melakukan hal-hal yang sama. Karena itu kita perlu senantiasa bersikap rendah hati di hadapan Tuhan Sang kebenaran dan membiarkan diri diilhami selalu oleh Rohnya serta berupaya menyalakan selalu Roh Allah yang penuh cinta, damai dan suka cita dalam diri kita.
Saya menutup renungan ini dengan satu ungkapan Spanyol yang berbasis dalam 1 Tes. 5:19: NO EXTINGAN LA ACCION DEL ESPIRITU (JANGANLAH PADAMKAN ROH ALLAH). Mari kita terus berjuang dengan bantuan rahmat Allah agar Roh Allah yang telah dianugrahkan oleh Allah sendiri kepada setiap kita senantiasa bernyala sehingga kita saling peduli dan terus mengusahakan damai sejahtera dan suka cita dalam hidup bersama kita.
Santu Stefanus doakanlah kami.
Oleh. Amans Laka, SVD
Mantan Misionaris Argentina yang akan bertugas di Amerika Serikat.
Injil tentang para murid Yesus yang mengalami badai (Yoh. 6: 16-21) menyampaikan satu pesan kehidupan yang perlu kita renungkan kebenarannya dan perlu kita diperhatikan dalam ziarah iman kita bersama Tuhan.
Pesan yang dimaksud berkaitan dengan opsi kegiatan yang dipilih dan dilakukan para murid. Ada satu hal yang menggelitik untuk dicermati yakni Yesus memilih menyepi di gunung untuk berdoa dan bersyukur serta mengagumi karya penyelenggaraan Tuhan khususnya melalui peristiwa perbanyakkan roti dan ikan yang baru saja terjadi. Seyogiannya para murid pun ikut Guru mereka bersyukur kepada Tuhan atas peristiwa iman yang baru saja mereka alami. Anehnya para murid Yesus bukannya menyepi bersama Guru mereka tetapi justru mereka lebih memilih untuk pergi ke pantai mungkin untuk bersenang-senang di di atas perahu setelah sehari suntuk melayani ribuan orang dalam peristiwa perbanyakkan roti dan ikan.
Tentu kita tidak serta merta menyudutkan sikap para murid itu karena mereka juga butuh ruang dan waktu untuk relaksasi dan rekreasi setelah aktifitas melelahkan. Namun perlu dicatat bahwa peristiwa perbanyakkan roti adalah peristiwa iman. Hanya karena Penyelengaraan kuasa Allah yang Mahatinggi maka peristiwa itu bisa terjadi. Karena itu sikap iman yang dilakukan Yesus setelah peristiwa ajaib sangat tepat. Yesus mencari ruang dan waktu untuk bersyukur pada Bapa-Nya yang telah melakukan mujisat. Sebaliknya para murid-Nya justru merayakannya ala duniawi manusiawi. Mungkin mereka bertemu orang-orang yang ikut makan roti sehingga mereka lebih menyambung cerita mengenai peristiwa ajaib itu.
Inilah sikap manusia yang kadang lupa besyukur dan berterimakasih di saat sikap itu perlu dilakukan. Maka peristiwa badai yang dialami para murid Yesus sebenarnya semacam teguran bagi mereka untuk tahu menempatkan diri sesuai sikon. Mereka perlu keluar dari kebiasaan ala duniawi dan mau memaknai serta menjalin suatu pola relasi dengan Tuhan, sumber hidup dan penyelenggara karya-karya mereka.
Kisah ini mengingatkan kita juga yang kadang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para murid yang kurang bersykur dalam hidup; yang seringkali memilih jalan lain dari apa yang dikehendaki Tuhan sehingga membawa kita pada situasi kelam.
Sebab itu mari kita belajar untuk mempertahankan pola sikap baik dan relasi akrab kita dengan Tuhan. Kita hendaknya tahu menempatkan diri sesuai situasi yang seharusya.
Tuhan memberkati kita sekalian
P Lazarus Mau, SVD
(Misionaris SVD yang sedang berkarya di Maliana Timor Leste)
Sabda Tuhan selalu saja menyajikan inspirasi-inspirasi menarik bagi kita. Kisah perbanyakkan roti dan ikan (Yoh. 6:1-15), misalnya, menyajikan begitu banyak pesan yang menarik untuk direnungkan.
Salah satu pesan menarik dari kisah mengagumkan tersebut yakni orang menyumbang roti dan ikan yang diperbanyak Yesus itu. Yang mendonasikan roti dan ikan itu bukan dari pabrik roti atau 'orang berpunya' tapi justru dari seorang anak kecil yang seringkali disepelekan orang-orang dewasa dalam dunia kehidupan sosial. Anak kecil ini bisa mewakili kaum kecil yang biasanya dianggap remeh dalam kebersamaan.
Dalam perspektif tersebut kisah ini sebenarnya mau mengajak kita untuk menaruh kepercaryaan kepada setiap orang khususnya kaum kecil bahwa setiap orang mempunyai talenta dan kemampuan yang bisa diberdayakan untuk kehidupan bersama. Pesan lain yang tidak kalah penting yakni hendaknya kita menaruh perhatian pada anak-anak dan kaum kecil yang sering dianggap remeh dalam kehidupan bersama. Kita perlu memberi mereka ruang dan waktu bagi mereka untuk mengembangkan roti dan ikan talenta-kemampuan yang mereka miliki. Kita hendaknya mendukung dan mengapresiasi karya-karya dan sumbangan mereka bagi kesejahteraan umum.
Injil ini mengajak kita untuk mengapresiasi dan mendukung orang-orang atau pihak-pihak yang selama berupaya memberdayakan anak-anak dan kaum kecil sehingga mereka pun berkontribusi dalam kehidupan sosial. Kita berterimakasih utk para orang tua yang setia, tabah dan penuh tanggungjawab memberdayakan hidup anak-anak mereka sehingga menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa, negara dan Gereja. Apresiasi juga kepada para guru, pendamping, pembimbing dan semua pihak yang selama ini berkarya memperjuangkan pemberdayaan anak-anak, kaum muda dan kaum kecil.
Saudara-saudari sekalian adalah Andreas-Andreas ysng telah membantu menghantar anak-anak dan kaum kecil bertemu Tuhan dan diberkati Tuhan sehingga talenta, kemampuan dan karya mereka turut berguna bagi kesejahteraan umum.
Mari kita semua berupaya dengan cara kita menjadi Andreas-Andreas yang menghantar anak-anak, kaum muda dan kaum kecil kepada Tuhan agar Tuhan memberkati dan memperbanyak roti dan ikan talenta dan kemampuan mereka demi kesejahteraan hidup kita semua.
Tuhan menanti kita sekalian yang mau membawa anak-anak, kaum muda dan kaum kecil untuk diberkati kita dan diberdayakan Tuhan.
Salam dan berkat.
Pater Yakobus Weke, SVD
Kisah-kisah hidup seputar kehidupan para murid Tuhan selalu saja menampilkan hal-hal menarik untuk kita renungkan. Salah satu hal menarik yang ditampilkan dalam Kisah Para Rasul 5 yakni keberanian para murid memberikan kesaksian akan kebangkitan Yesus.
Mencermati secara kronologis sikap para murid Tuhan ini dari awal kemuridan itu, kita menemukan di sana bahwa keberanian para murid dan semangat yang berapi-api bersaksi tentang kebangkitan Tuhan bukan muncul dalam sekejap. Semangat keberanian itu boleh dibilang merupakan suatu hasil transformasi diri dari pribadi-pribadi yang mudah merasa takut, cemas, ragu-ragu dan tidak percaya menuju sikap iman yang teguh akan Tuhan sebagai Allah yang mahakuasa.
Proses transformasi ini terjadi karena mereka mau mengikuti proses digembleng oleh Tuhan dan mau dibentuk oleh pengalaman-pengalaman ‘jatuh bangun’ dalam perjalanan kemuridan mereka bersama Tuhan. Kemauan mengikuti Tuhan dan tuntunannya dalam aneka peristiwa yang mereka alami dan lalui akhirnya mentransformasi mereka dari orang-orang yang tidak tahu dan paham akan hal-hal iman akan Allah dan penyelenggara Ilahi Allah menjadi orang-orang yang sangat percaya akan kedasyatan kekuatan penyelenggara. Semangat inilah yang mendorong mereka berani memberikan kesaksian tanpa rasa takut sedikit pun kepada manusia karena mereka lebih takut dan taat pada Allah yang sudah mereka alami kedasyatan penyelenggraanNya.
“kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia…. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia.”(Kis. Ra. 5:29).
Inilah manfaatnya bila kita mendekatkan diri dengan Tuhan dan berupaya mengikuti Tuhan dalam segala sesuatu serta memasrahkan hidup kita dalam penyelenggaraanNya. Kita akan ditransformasi dari pribadi yang tidak tahu menjadi tahu dan paham akan rahasia kebenaran Iman akan penyelenggara Tuhan. Kita akan dirubah dari pribadi yang suka takut, cemas, ragu dan tak percaya menjadi pribadi-pribadi yang beriman teguh. Dan pengalaman-pengalaman transformasi ini menggerakkan kita untuk memberi kesaksian akan kemahakuasaan Tuhan dan senantiasa bersedia membagikan rahmat kasih Tuhan yang kita terima dalam hidup kita.
Mari kita meluangkan waktu sejenak mengingat pengalaman-pengalaman penyelenggaraan kemakuasaan Tuhan dalam hidup kita yang pernah kita alami baik dalam peristiwa-peristiwa kecil maupun kejadian luar biasa. Kiranya dengan permenungan ini kita makin diteguhkan untuk bersikap seperti para Murid Yesus yang berani memberik kesaksian akan kemahakuasaan Tuhan kita. Kita mau berniat makin setia dalam iman kita akan Tuhan dan mau senantiasa bersedia berbagi kisah iman kepada sesama kita.
Kiranya kata-kata Yohanes Pembaptis meneguhkan perjuangan kita dalam mengikuti Tuhan: ‘barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak percaya kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.”(Yoh. 3: 31-36).
Kesetiaan kita mengikuti Tuhan hingga detik ini menjadi bukti nyata bahwa kita pun seperti para murid berupaya dengan segala kelebihan dan kekurangan kita mengikuti Tuhan dan menjadi abdi-abdinya. Pengalaman-pengalaman iman yang kita alami makin meneguhkan kita untuk tetap setia mengimani Tuhan kita dan mempasrahkan seluruh hidup dan segala situasi yang kita alami dalam karya penyelenggaraanNya. Pelayanan kita kepada sesama melalui hidup dan tugas pengabdian yang dipercayakan kepada kita menjadi bukti nyata bahwa kita pun telah mengambil bagian dalam rencana agung Allah membagikan rahmat dan kasih Tuhan kepada sesama.
Semoga Tuhan yang kita Imani dan ikuti melimpahkan berkatNya agar kita makin setia seperti para murid dan Yohanes Pembaptis menjadi saksi kebangkitan Tuhan dan penyalur rahmatNya kepada sesama kita. Amin.
Tuhan memberkati
Pater Marselinus Baunule, SVD
Hidup setiap orang punya maksud dan tujuan. Dari perspektif iman, kita percaya Tuhan mengutus kita ke dunia dengan suatu maksud yakni meneruskan cintaNya kepada sesama melalui hidup dan karya kita. Namun upaya mewujudkan tujuan hidup itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Kisah perjalanan setiap kita mengajar kita mengakui bahwa hidup itu merupakan suatu variasi antara untung, malang, susah dan senang.
Bacaan-bacaan suci selama masa Paska ini meneguhkan kita bahwa dalam situasi apa saja termasuk di saat menghadapi tantangan dan kesulitan serta kegelapan dalam hidup, Tuhan setia mendampingi dan menolong kita dengan cara dan pada waktuNya. Tindakan kasih Tuhan yang dilakukan Yesus menolong banyak orang menjadi bukti nyata keberpihakkan Tuhan kepada manusia. Bukti kasih Tuhan terbesar yakni pengorbananNya di Salib demi penembusan dan keselamatan kita. Pengorbanan Tuhan di salib menjadi bukti nyata bahwa Tuhan selalu berupaya memberi yang terbaik bagi manusia.
Hanya saja kegelapan hidup seperti egoisme, hedonisme, sekularisme dan hal-hal duniawi lainnya yang bertentangan dengan jalan kehendak Tuhan membuat kita kadang bahkan sering tidak mampu melihat karya cinta Tuhan ini. Situasi kegelapan ini juga kadang membuat kita menyangkal Tuhan bukan sumber kehidupan kita dan juga kadang memvonis Tuhan tidak baik khususnya di saat kita mengalami kesulitan dan tangantan berkepanjangan.
Meski dalam situasi demikian Tuhan tetap punya cara menuntun kita mendekat padaNya dan mengalami cinta perhatianNya. Percakapan Yesus dan Nikodemus memberikan banyak pencerahan kepada kita bahwa Tuhan sesungguhnya merupakan Cahaya kebenaran sejati yang mampu menuntun kita pada jalan keselamatan dan kehidupan sejati. Kisah percakapan itu mau mengajak kita juga untuk menaruh tumpuan harapan pada Tuhan sebagai sumber kebenaran dan cahaya kebenaran sejati.
Kerelaan hati mau dituntun dan dicerahi Cahaya Kebenaran membantu kita melihat kasih Agung Tuhan dalam hidup kita. Kedekatan kita dengan Tuhan membantu kita makin memahami kebenaran sejati dan hidup kita diterangi oleh CahayaNya.
Pengalaman-pengalaman pencerahan demikian yang kita alami juga dalam hidup kita hendaknya menjadi menginspirasi dan memotivasi kita untuk makin tekun melaksanakan tugas perutusan kita yakni mewartakan Cahaya Kebenaran dan kasih Agung Tuhan kepada sesama. Mari kita terus berupaya menjadi saksi terang kasih Tuhan dalam hidup dan karya kita.
Tuhan memberkati kita.
Rm. Hieronimus Kore, Pr
Dalam percakapan dengan Nikodemus, Yesus berkata: “Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh." Nikodemus menjawab, katanya: "Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?" Jawab Yesus: "Engkau adalah pengajar Israel, dan engkau tidak mengerti hal-hal itu? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kami berkata-kata tentang apa yang kami ketahui dan kami bersaksi tentang apa yang kami lihat, tetapi kamu tidak menerima kesaksian kami. Kamu tidak percaya, waktu Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan percaya, kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal sorgawi? Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal.
REFLKESI
Figure Nikodemus ditampilkan juga dalam masa Paska ini karena figure ini memberikan kita contoh bagaimana hidup dan berkarya sebagai pengikut dan abdi Tuhan. Di mata orang Yahudi, Nikodemus merupakan seorang figure panutan karena dia adalah seorang pengajar agama Yahudi dari golongan Farisi. Dengan peran demikian ditambah kepribadiannya yang menawan tentu saja membuat dia menjadi figure panutan di kalangan hidup sosial kemasyarakatan.
Meskipun demikian segala atribut itu tidak membuat Nikodemus hanyut dalam segala ‘kebesarannya’. Rasa ingin tahu hal kebenaran sejati disertai sikap rendah hati dan keterbukaan hatinya menuntun dia bertemu dengan Yesus, Putra Allah dan belajar kebenaran dan nilai-nilai sejati dari Yesus, Sang Sabda yang hidup.
Benar bahwa Nikodemus juga terlihat masih terperangkap dalam pola pikirnya mengenai hidup sesuai pola pikir bangsanya sebagaimana dilukiskan dalam bacaan Injil di atas. Inilah yang membuat dia mengalami ‘kegelapan’ dalam dirinya sehingga tidak bisa melihat terang kebenaran yang sesungguhnya. Namun Nikodemus tidak mau menyerah begitu dia. Sikap kerendahan hati dan keterbukaan yang tulus dari dalam dirinya di hadapan Tuhan menghantar dia dicerahi oleh kebenaran yang disampaikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian kegelapan iman yang dialaminya kebenaran sejati berubah menjadi suatu moment pencerahan dan kemudian menginspirasi dia menjadi saksi kebenaran akan hidup dan kebangkitan Tuhan. Inilah yang membuat Nikodemus menjadi ‘MURID PLUS’ YESUS.
Kisah Nikodemus ini kiranya menjadi inspirasi bagi kita agar tidak mudah menyerah dengan kegelapan hidup yang kita alami dalam hidup dan pengabdian kita. Pengalaman gelap hendaknya menjadi kesempatan emas bagi kita untuk belajar nilai-nilai plus di balik pengalaman itu sehingga membuat kita menjadi pengikut-pengikut Tuhan yang punya nilai plus juga seperti Nikodemus. Tentunya sikap rendah hati dan keterbukaan hati mendengarkan tuntunan Tuhan seperti Nikodemus menjadi kunci bagaimana kita bisa mengubah masa gelap menjadi momen pencerahan bagi kita. Semakin mengalami pengalaman-pengalaman seperti ini kita, iman kita akan Tuhan semakin dimatangkan, pemahaman kita akan kebenaran dan nilai-nilai sejati semakin luas. Hal-hal mulia dan sejati yang didapatkan dari pengalaman bersama Tuhan menjadi terang dan kebenaran dari dalam diri serta kekuatan yang menggerakkan dan memampukan hidup dan kesaksian kita sebagai murid dan saksi Tuhan.
Mari kita belajar dari Nikodemus sehingga kita pun menjadi MURID & SAKSI PLUS Tuhan akan segala kebesaranNya dalam hidup dan kesaksian kita sebagai abdi-abdi Tuhan, Sang Kebenaran sejati.
Tuhan memberkati kita sekalian.
Oleh : P. Marcellines Nahas, SVD
di Komunitas St. Yosep Freinademetz Labuan Bajo
Sumber inspirasi Injil Yohanes 3: 7-15
PADA 19 April-14 Mei 1998 berlangsung Sinode Para Uskup Khusus untuk Asia di Roma. Hari pertama, seusai doa dan renungan pagi, Sri Paus waktu itu, Yohanes Paulus II, berdiri dan berkata dengan lantang kepada peserta Sinode: “Jangan lupa, Yesus itu orang Asia!”
Hari-hari berikutnya beredarlah di kalangan para Uskup peserta Sinode anekdot berikut: Ya, benar, Yesus itu orang Asia. Ia lahir di Asia. Orangtuanya asal Asia. Ia mewarisi budaya Asia. Tetapi kemudian Dia merantau ke Barat. Dan setelah besar di Barat, Ia pulang kampung. Namun, orang-orang sekampung-Nya tak lagi mengenal Dia. Ia dianggap orang asing!
Saudari-saudara, anekdot itu menggambarkan situasi kekristenan sampai saat ini di Asia, tempat kelahiran kekristenan itu sendiri. Kecuali di Filipina dan Timor Leste, di negara Asia lainnya pengikut Kristus merupakan minoritas mutlak; bahkan di sejumlah negara, kekristenan hampir tidak dikenal; dan di sejumlah negara lainnya, termasuk Indonesia, kekristenan sering dicap sebagai agama penjajah.
Ini situasi yang ironis dan sangat memprihatinkan. Padahal Kristus, sebelum naik ke surga, memerintahkan para murid-Nya pergi ke seluruh dunia untuk mewartakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid-Nya.
Apa yang secara konkret dewasa ini harus dibuat agar Yesus Kristus dikenal dan diterima kembali di kampung halamannya? Sejak 1970-an para Uskup yang tergabung dalam Federasi Uskup-uskup Asia (Federation of Asian Bishops Conferences/FABC) mencanangkan upaya tri-dialog: dialog dengan budaya-budaya Asia, dialog dengan agama-agama di Asia, dan dialog dengan penduduk Asia, khususnya kaum miskin.
Pertama, dialog dengan budaya-budaya Asia, harus bermuara pada berakarnya Gereja pada budaya, setempat melalui proses inkulturasi. Diharapkan pada akhirnya terbentuklah komunitas Kristiani khas setempat, tak hanya dalam pengungkapan lahiriah (misal bentuk-bentuk liturgi atau ibadat), melainkan juga dalam refleksi iman (teologi) serta sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas).
Dalam bidang liturgi banyak usaha diupayakan di pelbagai tempat di Asia dan membuahkan hasil yang menggembirakan. Dalam bidang teologi disebut Koloquium Teologi tingkat Asia, yang diselenggarakan OTC-FABC (semacam Komisi Teologi FABC) di Sampran, Thailand, 11-15 Mei 2004. Tema Koloquium Teologi itu ialah “Asian Faces of Christ”, ‘Wajah-wajah Asia dari Kristus’. Titik-tolak yang diambil ialah pertanyaan Yesus dalam Injil hari ini: “Menurut kamu (orang Asia), siapakah Aku ini?” Kita berharap, refleksi teologis inkulturatif ini terus-menerus dikembangkan. Apabila upaya inkulturatif di bidang pengungkapan eksternal dan refleksi teologis berjalan dengan baik, pada akhirnya lahirlah spiritualitas Kristiani khas setempat.
Kedua, dialog dengan agama-agama non-Kristiani di Asia. Hal ini akan membuat para pihak yang terlibat dalam dialog semakin saling mengenal dan memahami satu sama lain; selanjutnya semakin bertumbuh semangat saling menghargai, dan bahkan saling memperkaya.
Ketiga, dialog dengan saudari-saudara kita, sesama orang Asia, khususnya mereka yang miskin. Di sini kita harus selalu ingat pesan Paus Fransiskus; orang Katolik harus keluar dari zona aman mereka, dan melibatkan diri bersama dengan saudari-saudaranya dari golongan lain, dalam pergulatan membangun sebuah dunia yang lebih baik, lebih damai, lebih bersaudara.
Sampai pada titik ini barangkali dengan gemas kita bertanya, apa hubungan antara tugas mewartakan Kristus dengan gerakan tri-dialog ini? Dalam bahasa Latin ada pepatah, Magis exemplo quam verbo, versi Inggrisnya berbunyi: “Actions speak louder than words”, ‘tindakan berbicara lebih nyaring daripada kata-kata’. Dewasa ini, pewartaan lewat kesaksian hidup dapat lebih ampuh daripada lewat kata-kata. Tentu saja itu tak berarti pewartaan lewat kata-kata tidak dibutuhkan lagi.
Kecuali itu, tak pernah boleh melupakan bahwa kita hanyalah alat dalam tangan Tuhan. Adalah Kristus sendiri yang terus berkarya lewat Roh-Nya dengan menggunakan kita sebagai alat-Nya. Kita berdoa semoga semakin banyak orang Asia yang mengenal Yesus dan akhirnya sampai pada keyakinan seperti Simon Petrus, orang Asia pertama yang mengakui: “Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup!”
Mgr Johannes Liku Ada
IBLIS tak hanya nama untuk penguasa kejahatan, tapi juga sering dipergunakan orang untuk menyebut sesamanya. Seorang artis di-bully netizen karena dia memaki bekas pacarnya, mengejek artis lain, dan menyindirnya berhati iblis. Sindiran “berhati iblis” itu membuat netter marah, sehingga mereka memborbadir artis ini dengan komentar pedas. Seorang pengusaha juga marah terhadap redaksi sebuah majalah karena memasang fotonya pada sampul majalah dengan beberapa angka yang menjadi simbol iblis di dahinya. Karikatur tersebut mungkin merupakan kritik, namun tetap terasa menghina dan merendahkan dirinya.
Sebutan iblis sering dikenakan orang kepada sesamanya, tak hanya kepada artis dan pengusaha, tetapi terhadap siapa saja. Sebutan iblis juga bisa terdengar di kalangan para murid dan keluarga Kristiani. Bahkan Petrus pun pernah disebut iblis oleh Yesus dan menjadi batu sandungan bagi karya perutusan-Nya.
Sebutan “iblis” bagi sesama merupakan ungkapan kekecewaan dan kemarahan atas sikap, perilaku, dan tindakan seseorang yang begitu jahat, seperti mencampakkan kekasihnya, usahanya merugikan dan membuat sengsara banyak orang, ayah tega menyetubuhi anak kandungnya, seorang ibu menyimpan jasad anak kandungnya di dalam freezer, serta berbagai kejahatan lainnya. Iblis rupanya bisa melakukan kejahatan dengan berbagai macam cara, seperti berwujud ular, makhluk hitam yang menakutkan, dan berwujud manusia, yang dekat dengan kehidupan kita.
Yesus marah dan mendamprat Petrus sebagai “iblis” karena reaksi Petrus atas pernyataan-Nya, yakni bahwa diri-Nya harus ke Yerusalem; akan menanggung banyak penderitaan, ditolak, dibunuh, dan akan bangkit. Petrus menegur Yesus dan berusaha mencegah-Nya, agar Yesus tidak mengalami hal-hal itu. Dalam diri Petrus, iblis menggoda agar Yesus berbelok arah dan tidak melanjutkan tugas perutusan-Nya. Godaan seperti ini juga pernah Dia alami di padang gurun. Iblis menggoda-Nya dengan memperlihatkan kemuliaan dan kemegahan duniawi. Semuanya akan diberikan kepada-Nya, kalau Dia bersedia menyembah iblis.
Yesus bersikap tegas terhadap godaan iblis, “Enyahlah Iblis!” Kata-kata ini diucapkan di padang gurun dan juga ditujukan kepada Petrus. Yesus memberi pengajaran dan contoh bagi para murid agar mereka pun mempunyai sikap tegas terhadap iblis; tidak kompromi terhadap godaan jahat, yang akan menjauhkan mereka dari Allah. Hanya Tuhanlah yang pantas disembah dan didengarkan; bukan godaan iblis.
Kata-kata keras terhadap Petrus sesungguhnya juga pembelajaran agar para murid mempunyai pemahaman yang benar akan Diri-Nya, sebagai Mesias, dan dapat menempatkan diri secara tepat. Mereka harus semakin memahami bahwa Mesias yang Dia perjuangkan tidak terletak di dalam kehebatan karya-Nya yang ajaib; tetapi pada Pribadi yang berkenan kepada Allah. Tugas perutusan-Nya sebagai Mesias tidak meniadakan sengsara, penderitaan, kematian, serta kebangkitan-Nya. Dia akan menerima dan mengalami semua itu sebagai wujud kesetiaan-Nya terhadap Allah, Bapa-Nya. Yang diminta dari para murid adalah percaya dan mengikuti-Nya; bukan untuk menentukan arah perutusan-Nya, mengambil alih tugas atau peran-Nya; juga bukan menjadi penghalang atau batu sandungan dalam melaksanakan karya penyelamatan-Nya.
Karena itulah, Yesus menegaskan tuntutan atau syarat bagi siapa saja yang mau menjadi pengikut-Nya, yakni harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya. Para murid harus bersedia berjalan di belakang, mengikuti jejak dan langkah Gurunya, tidak menempatkan diri di muka atau bahkan menghalangi-Nya. Mereka juga harus menyangkal diri, yakni meninggalkan pemikiran, gagasan atau pemahaman lain yang tak selaras dengan tugas perutusan Gurunya; meninggalkan sikap perilaku dan tindakan jahat yang bertentangan dengan kehendak Allah. Hal ini juga ditegaskan St Paulus yakni mengajak para murid untuk berubah atau memperbarui diri agar mampu membedakan mana kehendak Allah, mana yang baik, sempurna dan berkenan kepada Allah.
Semoga Minggu Kitab Suci Nasional yang dirayakan pada hari ini, menjadi kesempatan bagi kita untuk memahami Yesus Kristus secara utuh dan benar dan untuk menghayati panggilan hidup sebagai seorang murid dengan tepat. Sehingga kita tak jatuh ke dalam godaan Iblis dan tidak menjadi batu sandungan bagi sesama dan terlaksananya kehendak Allah.
Romo Tarcisius Puryatno
MANUSIA merupakan makhluk monodualistis, artinya makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup saling membutuhkan. Manusia semakin menyadari individualitas melalui kehidupan bersama orang lain. Esensi manusia sebagai makhluk sosial adalah kesadaran manusia tentang status dan posisinya serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan. Di lain pihak, manusia diciptakan berbeda satu sama lain. Perbedaan itu bisa menjadi alasan saling membutuhkan, tetapi juga menjadi ancaman yang melahirkan pertentangan.
Hidup bersama dalam nama Tuhan mengandung nilai-nilai kebersamaan sesuai dengan ajaran Tuhan. Seseorang disebut berdosa bila ia tak bisa hidup dalam kebersamaan dalam nama Tuhan. Dalam Injil Matius, Yesus memberi petunjuk bagaimana menyelamatkan orang yang hidup di luar kebersamaan. “Tegurlah dia empat mata, kalau tidak berhasil libatkan beberapa orang, dan kalau masih tidak berhasil sampaikan soal itu kepada jemaat. Kalau masih juga tidak berhasil maka orang tersebut dianggap tidak mengenal Tuhan sebagaimana dihayati dalam norma-norma kebersamaan” (bdk. Mat 18:15-20). Yang menarik dari petunjuk Yesus adalah sikap menghargai kebebasan individu dalam kebersamaan. Kesalahan dan dosa apapun yang dilakukan seseorang, jangan cepat menghakimi. Kita harus memberi ruang dan waktu, agar proses pertobatan dapat dijalani.
Makna kebersamaan terungkap dalam firman Tuhan: “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Makna kebersamaan menurut firman Tuhan hari ini, hendaknya kita hidup bersama orang lain dan kebersamaan itu dalam nama Tuhan.
Yesus memanggil para murid untuk hidup bersama sebelum mereka diutus. Tinggal bersama Yesus menjadi hal yang sangat penting dalam proses menjadi seorang murid-Nya. Hidup bersama Yesus membawa dampak dalam kehidupan mereka secara pribadi, maupun dalam kebersamaan. Perubahan apa yang terjadi dalam hidup mereka? Para murid terpanggil untuk tumbuh dalam persaudaraan yang akrab denganYesus. Panggilan ini terungkap secara khusus dalam Injil Yohanes. Dalam cerita panggilan yang pertama (Yoh 1:39), Yesus mengundang murid-murid-Nya dengan mengatakan, “Marilah dan kamu akan melihatnya”, Yohanes menambahkan, “dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia.”
Hidup bersama Yesus merupakan puncak dari persahabatan dengan-Nya. Pada awal Injilnya Yohanes mengatakan “Mereka tetap bersama-Nya” (Yoh 1:39) dan menjelang akhir Injilnya Yesus sendiri menegaskan agar para murid “tinggal di dalam-Nya” (Yoh 15:14). Tinggal dalam Yesus memang tujuan dari kerasulan. “Tinggalah di dalam Aku dan Aku tinggal di dalam kamu”(Yoh 15:4). Pandangan yang sama diungkapkan St Paulus bahwa misinya kepada bangsa-bangsa sebenarnya adalah Kristus dapat menjadikan hati mereka sebagai rumah-Nya (Ef 13:17).
Dengan hidup bersama Yesus dan mengikuti-Nya, para rasul perlahan-lahan mulai belajar untuk berpikir dan bertindak seperti Yesus. Mereka mulai melihat masalah dan memecahkan persoalan berdasarkan pandangan Yesus. Dengan demikian, mereka ikut berperan serta melaksanakan kasih Yesus.
Yesus mengajak para murid untuk bersama dalam satu kelompok, tapi kadang terjadi ketegangan misalnya ada beberapa yang “mencari muka” (Mrk 10:38). Ini karena mereka orang biasa dan tak sempurna. Namun, Yesus menerima mereka dan mengajak mereka untuk berkembang sampai sungguh-sungguh menyadari arti mengikuti Yesus dan bertindak seperti yang dikehendaki-Nya.
Berkumpul atau hidup bersama dalam nama Tuhan menjadi inti dari seluruh kegiatan apostolik. Prasyarat karya apostolik yang berhasil adalah adanya pengalaman hubungan pribadi yang akrab dengan Kristus. Apa yang kita wartakan sebenarnya adalah hubungan kita yang mendalam dengan Kristus sendiri. Seperti Yohanes kita hendaknya juga mewartakan pengalaman kebersamaan kita dengan Kristus (1Yoh 1:1-4).
Pengalaman hidup umat perdana menjadi pelajaran bagi kita untuk merealisasikan ungkapan Yesus dalam Matius 18:20: “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Gambaran tentang jemaat perdana dan bagaimana hidup bersama dalam nama Tuhan tertuang dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 5:32-35. Belajar dari umat perdana, maka kebersamaan dalam nama Tuhan membutuhkan pengakuan iman akan Yesus, mendengarkan firman-Nya, berdoa bersama, hidup berbagi khususnya bagi mereka yang berkekurangan.
Mgr John Philip Saklil
Bagaimana menyelaraskan nilai-nilai iman sejati dengan kecanggihan art...
Pada hari Sabtu, 15 Oktober 2022 yang lalu, Komunitas Verbum Domini (K...
Bible Zoom-Youtube Live-Streaming diadakan lagi oleh Tim Pengurus Pusa...
Tim Pengurus Pusat Spiritualitas (Puspita) Sumur Yakub SVD-SSpS Indone...
Tim Pengurus Pusat Spiritualitas (Puspita) Sumur Yakub SVD-SSpS Indone...
Nama yang dipilih untuk sentrum ini adalah “Pusat Spiritualitas Sumur Yakub” yang mempunyai misi khusus yaitu untuk melayani, bukan hanya anggota tarekat-tarekat yang didirikan Santu Arnoldus Janssen saja tetapi untuk semua... selebihnya