Rasul Petrus dalam suratnya memberikan nasihat yang penting ini: Datanglah kepada Kristus, batu yang hidup, yang dibuang oleh manusia, tetapi dipilih dan dihormati di hadirat Allah. Biarlah kamu dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, yang berkenan kepada Allah karena Yesus Kristus. Nasihat ini betul- betul menyentuh hati kita, betapa kita melakukan kebaikan dan kebenaran, di dalam cinta Tuhan, seringkali mendapatkan penolakan dan keraguan dalam kaca mata manusiawi hidup ini. Dan dalam cinta akan kasih Tuhan yang luar biasa, kita tetap menjadi pelayan kasih di dalam perjalanan hidup panggilan kita, bagi orang yang dipercayakan Tuhan kepada kita.
Kita adalah peziarah penuh kerapuhan, dan pada suatu titik kehidupan, kita dengan rendah hati tunduk pada kuasa cinta Allah dalam peristiwa berahmat tahbisan imamat suci. Kerendahan hati kita untuk menjadi abdi Allah sebagai imam, adalah sukacita iman, tidak saja dalam penghormatan dan penghargaan orang lain atas martabat kita, melainkan juga pada begitu banyak pergumulan dan pergulatan tantangan kehidupan imamat kita. Kita bukan manusia sempurna, kita seringkali gagal dan jatuh dalam kehidupan pribadi, kehidupan sosial dan karya pastoral kita setiap waktu. Kita memang seringkali menguatkan dan meneguhkan umat dan sesama kita, namun sungguhkah kita telah menjadi kuat karena kita adalah murid-murid Yesus yang setia sebagai rasul hingga akhir.
Nasihat Petrus dan narasi pentingnya pelayanan dalam kisah para rasul adalah ungkapan paling jujur dalam tulisan pewartaan ini, betapa kita ini bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, namun dalam Yesus, kita memiliki arti bagi sesama dan orang lain. Kita memang tidak bisa memiliki prestasi karena karier dan proses usaha untuk menjadi kaya, namun dalam kesederhanaan dan ketulusan kita setiap hari, kita telah memiliki harta kekayaan yang berlimpah dalam nama Tuhan Yesus: Maka kamu harus memaklumkan perbuatan-perbuatan agung Allah. Ia telah memanggil kamu keluar dari kegelapan masuk ke dalam terangNya yang menakjubkan.( 1 Petr. 2.9.).
Saudara-saudari terkasih....
Sukacita imamat, sungguh kita rasakan pada hari ini, ketika putra-putra tercinta yang kita kasihi ini, menerima urapan suci imamat. Kita bersukacita pertama-tama bukan karena kehebatan dan prestasi anak-anak kita, melainkan karena rahmat Allah yang begitu besar tercurah ke atas kehidupan anak-anak ini, tanpa memandang jabatan dan pangkat keluarga atau orang tua. Tuhan memilih setiap orang pada jalan tugasnya atau jalan kehidupan pada umumnya, dengan belaskasih dan kerahimanNya. Sukacita imamat ini harus terus dibagi-bagikan kepada orang banyak dalam setiap tugas pengabdian seorang imam, dan kita sungguh sangat berharap, betapa imamat suci ini sanggup meneguhkan kehidupan dunia saat ini, bisa mengusap air mata orang-orang susah dan terkucilkan serta bisa membangkitkan kembali harapan iman yang telah pudar bahkan hilang.
Saudara-saudara kita ini sebentar lagi akan menjadi Imam. Mereka lahir sebagai generasi milenial, dengan gaya dan karakternya yang khas. Mereka tahu bahasa dan gaya kehidupan milenial, bahkan mereka menjadi bagian dari bahasa dan gaya kehidupan itu. Ini sesuatu yang luar biasa, ketika imam generasi milenial ini pun harus sanggup masuk dalam kehidupan dunia saat ini tanpa harus kehilangan jati dirinya. Kemajuan zaman saat ini menjadi berkat sekaligus tanggung jawab, ketika adik-adik kita ini menjadikannya sebagai jalan untuk menebarkan jala lebih ke dalam, ke tengah kenyataan hidup kita saat ini. Kita berharap mereka tetap ingat kata- kata Yesus, "sesungguhnya barangsiapa percaya kepadaku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu."
Saudara-saudari terkasih....
Kisah para rasul ini meneguhkan kita sekalian betapa imamat itu begitu bernilai dan berarti, bila dihayati sebagai pemberian diri tiada henti, dengan penuh sukacita. Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Gaudete et Exultate mengajak setiap umat beriman, termasuk para imam untuk menghayati kegembiraan dan sukacita injili dalam hidup setiap hari. Para imam dipanggil untuk senantiasa menghayati kekudusan, dalam keseimbangan doa dan karya serta menjalani setiap tugas pengabdian dengan penuh cinta.
Menjadi imam bukanlah sebuah prestasi kehebatan pribadi apalagi prestise, dengannya kita ditempatkan pada dunia yang lain, yang begitu agung dan mulia, atau mungkin jarak yang begitu dalam dengan orang lain. Pilihan untuk menjalani panggilan khusus, sesungguhnya datang dari kasih kerahiman Allah sendiri, kita yang sudah berada dalam jalan panggilan ini diajak untuk menanggapinya dengan penuh ketulusan dan tanggungjawab. Dalam tema perayaan ini kita diajak oleh pemazmur untuk hidup dalam penyertaan kasih Allah, dan dalam cinta Allah, kita tetap kuat dan kokoh berjalan membangun dunia kita pada saat ini.
Tuhan telah menyatakan dirinya sebagai jalan, kebenaran dan hidup, dan di tengah gunda gulana dan kegelisahan hidup ini, kita tetap mengandalkan kasih Tuhan, yang mengampuni dan membebaskan kita. Ada tiga hal penting yang hendaknya kita hayati dalam tugas panggilan kita, terutama sebagai seorang imam.
Pertama, sakramen imamat adalah berkat Allah yang tercurah penuh cinta ke atas diri kita sekalian. Terimalah imamat ini dengan penuh sukacita, dan jangan merasa terbebani dengan begitu banyak impian lain yang bertentangan dengan rahmat imamat itu sendiri. Jalanilah kehidupanmu setiap hari dengan penuh cinta, bagikanlah berkat imamat kepada orang-orang yang dilayani. Imamat ini hendaknya dilingkari dalam ketulusan dan kesederhanaan, karena kebahagiaan tidak sama dengan kesuksesan, prestasi dan popularitas atau kekayaan berlimpah. Belajarlah dari kisah para rasul hari ini, tentang kebutuhan akan pelayan yang setia dalam tugas serta beriman teguh dalam pengampunan Yesus Kristus.
Kedua, ada begitu banyak orang yang kehilangan harapan dan membutuhkan peneguhan di tengah kehidupan mereka. Bahkan ada yang terjebak stress dan frustrasi hingga memilih cara yang paling tragis untuk mengakhiri kehidupannya. Sanggupkah kita sekalian membuka hati dan telinga kita untuk menjadi pendengar yang baik bagi mereka? Sanggupkah kita meneguhkan kembali umat kita yang kehilangan rasa percaya pada Gereja, merasa jenuh dengan kehidupan doa serta hampa dalam jiwanya? Kita bisa saja menjadi pengkotbah yang handal namun kita harus juga belajar untuk menjadi pendengar yang baik agar bisa menghantar umat kita pada Yesus sumber harapan dan cinta.
Ketiga, pupuklah roh persatuan, persaudaraan dan persahabatan dalam tugas imamatmu,(sebagaimana ditegaskan Prebyterorum Ordinis Nomor 8. Unum Sacerdotum, imam membutuhkan imam yang lain dalam hidup bersama di komunitas-komunitas pelayanan. Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis 12 mengajak kita untuk membangun persaudaraan di dalam cinta, dan membongkar sekat-sekat persaudaraan yang dangkal. Melalui komunitas, kita mengatasi kesepian dan saling meneguhkan dalam setiap karya pelayanan. Ada sikap bijaksana serta inisiatif untuk menolong sesame imam, serta memahami setiap perbedaan sebagai berkat dalam kebersamaan.
Semoga Tuhan memberkati ziarah imamatmu kelak, tetaplah sederhana dan tulus dalam tugas panggilanmu dan tetaplah membangun sikap "saling mengasihi dalam cinta Tuhan". Semoga Bunda Maria mendoakanmu dalam suka duka kehidupan seorang imam yang setia dan terpuji. Amin.