1. Pengertian dan sejarahnya
1.1. Pengertian.
Lectio Divina terbentuk dari dua kata bahasa Latin, lectio = bacaan, dan divina = ilahi.Secara etimologis lectio divina berarti bacaan ilahi atau bacaan rohani (dari Kitab Suci). Dari arti etimologis ini lahir pengertian Lectio Divina sebagai cara berdoa dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci untuk mencapai persatuan dengan Allah Tritunggal Mahakudus. Dengan berdoa sambil merenungkan Sabda Allah kita dapat semakin mengalami dan meresapkan Sabda Allah dan misteri kasih Allah yang dinyatakan melalui Putera-Nya. Melalui lectio divina itu kita diajak untuk membaca, merenungkan, mendengarkan dan akhirnya berdoa ataupun menyanyikan pujian yang berdasarkan sabda Tuhan, di dalam hati kita. Penghayatan sabda Tuhan ini akan membawa kita kepada kesadaran akan kehadiran Allah yang membimbing kita dalam segala kegiatan kita sepanjang hari.
Di dalam agama Kristen, lectio divina ini adalah suatu praktek tradisional kaum Benediktin untuk bacaan Kitab Suci, meditasi dan doa untuk mengembangkan communio dengan Allah dan juga untuk menumbuhkan pemahaman akan Sabda Allah. Praktek rohani bukan suatu studi kitab Suci tetapi lebih tertuju kepada suatu upaya menghidupi Sabda. Karena itu fokus lectio divina bukanlah analisa teologis atas teks Kitab Suci tetapi memandang/memahami teks sesuai maksud Yesus Kristus.
Awal mula dari praktek adalah Origenes (abad III) yang melihat Kitab Suci sebagai “satu sakramen”. Dalam salah satu surat kepada Gregorius dari NeoCaesarea, Origenes menulis: “Ketika kamu mepersembahkan dirimu lewat bacaan suci…carilah arti dari sabda Ilahi yang tersembunyi bagi banyak orang”. Origenes percaya bahwa Sabda berinkarnasi dalam Kitab Suci dan menyentuh serta mengajar para pembaca dan pendengar. Menurutnya, membaca Kitab Suci dapat menolong seseorang untuk bergerak melampaui pikiran awal, dan menemukan kebijaksaan yang lebih tinggi yang tersembunyi dalam Sabda Allah itu. Dalam pendekatan Origenes, elemen utama adalah Kristus. Teks Kitab Suci adalah sekunder terhadap Yesus Kristus; teks hanya bermakna sejauh mereka berhubungan dengan Yesus Kristus. Jadi Yesus Kristus adalah kunci interpretasinya.
Metode pendekatan atas Kitab Suci dari Origenes ini kemudian dipelajari oleh Ambrosius dari Milan yang pada akhir abad ke IV mengajarkannya kepada Agustinus yang kemudian dijadikan tradisi monastik di Gereja Barat. Pada abad IV, ketika para bapak padang gurun mencari Allah di padang gurun Palestina dan Mesir, mereka menciptakan banyak model kehidupan monastik kristiani yang mewarnai Gereja Timur. Komunitas-komunitas awal ini menjalankan kehidupan monastik dengan ditandai doa-doa yang tetap. Dalam komunitas ini ada teks Kitab Suci yang dibacakan untuk umum, lalu masing-masing rahib merenungkannya di sel-sel mereka sendiri. Belum ada lectio divina pada saat itu. Setelah Origenes, bapak-bapak Gereja seperti Ambrosius, Agustinus dan Hilarius dari Poitiers mulai menggunakan term lectio divina dan lectio sacra untuk bacaan Kitab Suci. Praktek monastik atas lectio divina baru dimulai pada abad VI oleh Benediktus dan Paus Gregorius I, sehingga mereka ini dilihat sebagai pencetus/pendiri lectio divina. Metode yang mereka kembangkan sebenarnya sudah mulai pada masa injil ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Salah satu teks yang mendasari praktek itu adalah Surat Roma 10: 8-10, dimana Paulus menyatakan kehadiran sabda Allah dalam kaum beriman dalam mulut dan hati. Kehidupan membiara para Benediktin, sejak saat itu, ditandai dengan tiga hal ini yaitu doa liturgis, kerja tangan dan lectio divina. Peraturan Benediktus (bab 48) menetapkan waktu khusus dan cara untuk lectio divina. Seluruh komunitas dalam biara mengambil bagian dalam lectio divina ini pada hari Minggu.
Pada awal abad XII Bernardus dari Clairvaux menekankan pentingnya lectio divina untuk biara Cistercian. Bernardus mengkatakan bahwa kita mencari lewat membaca (KS) dan akan kita temukan yang dicari itu dalam meditasi; lewat doa kita mengetuk dan akan dibuka bagi kita dalam kontemplasi. Ia melihat lectio divina dan kontemplasi yang dituntun oleh Roh Kudus sebagai kunci untuk menghidupi spiritualitas.
St. Klara dari Asisi mengembangkan suatu metode yang lebih visual dengan empat langkah yakni intuire (memandang salib); considerare (menimbang-nimbang); contemplare (mengkontemplasi); dan imitare (meniru).
Pada abad XIII Peraturan Karmelit St. Albert menjelaskan tentang doa harian dalam bentuk permenungan akan Sabda Allah. Lectio divina menjadi pilar doa dalam kehidupan biara Karmel. Lectio Divina ini kemudian dipraktekkan oleh Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Dominikan.
Pada awal abad XVI metode doa ini menyebar ke Spanyol dan Yohanes dari Salib mengajarkan ke-4 langkah dari Guigo II kepada para rahibnya. Selama abad ini para Reformator Protestan seperti Yohanes Calvin juga menyebarkan Lectio divina ini dalam Gerejanya. Yohanes dari Salib mulai mengajarkan 4 langkah untuk lectio divina. Kemudian empat langkah berdasarkan Kitab Suci, dipraktekkan dan dikembangkan oleh Guigo II, rahib Carthusian. Dialah yang memberi nama kepada langkah-langkah itu yakni lectio, meditatio, oratio, dan contemplatio. Hal yang dipraktekkan ini ditetapkan menjadi Peraturan biara Kartusian. Dalam bukunya The ladder of Monks (Tangga Kehidupan para Rahib) dengan sub-judulnya ‘satu surat tentang kehidupan kontemplatif,’ ia menjelaskan ke empat langkah itu; bahwa membaca menuntun orang untuk bermeditasi mengenai arti dari teks; tahap ini membimbing orang untuk menanggapinya dalam doa; dan doamembawa orang ke dalam keheningan/kedalaman (ada bersama Allah) yang disebut kontemplasi.
Pada abad XIX ketika berkembang metode kritik historis, metode lectio divina tidak dipedulikan. Lectio divina menjadi lebih popular di luar lingkungan biara; kaum awam katolik dan banyak jemaat protestan mempraktekkannya.
Pada Konsili Vatikan II lewat konstitusi dogmatis Dei Verbum (tahun 1965), Paus Paulus VI menegaskan agar lectio divina dipraktekkan di dalam Gereja khususnya di dalam biara-biara. Dan pada HUT ke-40 konstitusi Dei Verbum tahun 2005, Paus Benediktus XVI menegaskan kembali pentingnya mempraktekkan lectio divina ini, untuk dijalankan pada abad XXI ini.
2. Maksud dan Tujuan Lectio Divina
(a). Dari sejarah lectio divina seperti diuraikan di atas terlihat bahwa lectio divina itu menjadi elemen penting dalam hidup membiara, dan dipraktekkan dalam komunitas. Lectio divina adalah satu praktek tradisional biara-biara (Benediktin, Cartusian, Fransiskan, Dominikan) untuk membaca Kitab Suci, meditasi, doa, dan kontemplasi, untuk mengembangkan communio dengan Allah dan menumbuhkan pemahaman akan Sabda Allah. Aktifitas spiritual ini bukan merupakan suatu studi kitab Suci tetapi merupakan suatu praktek menghidupi Sabda. Focus lectio divina bukanlah analisa teologis atas teks Kitab Suci tetapi memahami teks sesuai maksud Yesus Kristus. Meskipun bisa dipraktekkan secara individual tetapi aspek komunitas (bersama) lebih mendapat perhatian. Lectio divina yang dipraktekkan itu adalah sebuah perayaan Sabda (feasting on the Word) yaitu mengambil sepotong (lectio); mengunyahnya (meditatio); mengecapnya (oratio), kemudian menikmatinya dan menjadikannya bagian dari tubuh kita (contemplatio). Langkah-langkah ini menuntun orang kepada pertumbuhan dalam Kristus.
(b). Konstitusi Dei Verbum no. 25 menyatakan bahwa dengan lectio divina yakni dengan rajin membaca KS, disertai dengan doa akan membawa orang kepada dialog yang intim dimana orang yang membaca itu mendengarkan Allah yang berbicara; dalam doa ia menjawab Allah dengan keterbukaan hati yang penuh kepercayaan. Dan bila lectio divina dijalankan terus menerus maka ia akan membawa Gereja kepada suatu musim semi rohani.
(c). Pada waktu Angelus 6 November 2005, Paus Benediktus XVI menggarisbawahi peran Roh Kudus dalam lectio divina. Setelah sinode para uskup tahun 2008, dalam surat puasanya kepada para imam di keuskupan Roma, Paus kembali menegaskan pentingnya lectio divina bagi para imam. Pada tahun 2012 dalam surat puasanya, ia menggunakan surat Efesus 4: 1-16 dalam pembicaraan tentang problem-problem yang sedang dihadapi Gereja saat ini. Dalam surat puasa ini Paus mencatat bahwa lectio divina perlu sekali dilakukan agar pikiran dan hati kita selalu diterangi Roh Kudus. Roh yang sama yang menginspirasi Kitab Suci dan agar kita dapat mendekati serta menangani problem-problem zaman ini dengan sikap yang mendengarkan dengan penuh hormat.
(d). Singkatnya, maksud dan tujuan lectio divina adalah untuk meresapkan Sabda Allah dalam kehidupan kita, dan dengan demikian hidup kita diubah dan dipimpin oleh Sabda. Dengan kata-kata kapitel Jenderal SVD ke XVIII: agar kita semakin berakar pada Sang Sabda.
Buah-buah dari lectio divina adalah compassio dan operatio. Dengan persatuan dengan Tuhan maka kita semakin membuka diri untuk memperhatikan dan mengasihi sesama manusia dan ciptaan lain (compassio). Sekaligus kita didorong untuk melakukan tindakan-tindakan nyata (operatio) untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan atau untuk selalu mengusahakan perdamaian dengan semua orang; dengan demikian perbuatan kita menjadi satu dengan doa kita; dengan kata lain kita memiliki perpaduan sikap Maria dan Marta (lih. Luk 10: 38-42). Dengan kata-kata tematis Kapitel Jenderal ke XVIII: dengan berakar pada Sang Sabda kita berkomitmen untuk misi; sehingga apa yang dicita-citakan oleh Kapitel Jenderal ini sebagaimana dilukiskan dalam tujuannya yakni pembaharuan spiritualitas missioner, dapat terwujudkan.
3. Langkah-langkah Lectio Divina
Dari sejarah lahirnya lectio divina seperti dikemukakan di atas, menjadi jelas bahwa lectio divina menapaki empat langkah ini: lectio, meditatio, oratio, contamplatio.
Persiapan : Kita terlebih dahulu memilih teks KS yang mau dipakai dalam lectio divina. Kemudian kita menenangkan diri dan tinggal dalam keheningan lahir dan batin. Dalam keheningan ini kita meminta Tuhan Allah Roh Kudus membimbing kita untuk membaca KS. Dasar dari persiapan kita adalah surat 1 Korintus 2: 9-10 yang menekankan peran Roh Kudus dalam memaklumkan Sabda Allah dan injil Yohanes 1: 26 yang menyatakan bahwa Kristus ada di tengah-tengah orang-orang yang mencariNya. Persiapan ini menolong membuka pikiran kita untuk mencari Kristus di dalam teks yang akan dibaca.
L e c t i o (membaca): membaca ayat-ayat atau perikop Kitab Suci itu dengan lembut dan perlahan. Bisa dibaca beberapa kali. Tradisi Benediktin punya kebiasaan untuk membaca sebanyak 4 kali, setiap kali dengan sedikit berbeda fokus.
Membaca di sini bukan hanya sekedar membaca tulisan melainkan juga membuka keseluruhan diri kita terhadap Sabda yang menyelamatkan. Kita membiarkan Kristus, Sang Sabda, berbicara kepada kita dan menguatkan kita; karena maksud kita membaca di sini bukan untuk memperoleh pengetahuan melainkan untuk mengalami perubahan dan perbaikan diri kita.
Dalam membaca kita mendengarkan ’suara kecil’ yang berbisik kepada kita lewat Sabda Allah yang dibaca. Dalam sabdaNya itu Allah merevelasikan hal-hal tertentu kepada kita melalui Roh-Nya. Roh meneliti segala sesuatu termasuk hal yang mendalam di dalam Allah.
Dasar dari membaca perlahan adalah Rom 10: 8-10: “firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu, dan di dalam hatimu. Jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan; karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan ulut orang mengaku dan diselematkan”.
M e d i t a t i o (merenungkan): mengingat kata-kata atau frase dari teks yang menarik hati kita, mengulang-ulangnya. Lalu biarkan kata-kata itu berinteraksi di kedalaman diri kita. Apa yang Tuhan sampaikan untuk diri kita? Disini kita bukan menelaah teks dan mencari informasi, tetapi kita menyerahkan diri ke dalam tuntunan Allah, pada saat kita mengulang-ulang kata/frase tersebut. Dalam mengulang itu Sabda akan menembus pikiran dan batin kita, sampai kita menjadi satu dengan ceritera teks itu. Dalam merenung itu kita bukan mencari arti/makna dari teks tersebut tetapi membiarkan kerja Roh Kudus untuk menerangi pikiran, hati dan rasa kita lewat teks tersebut. Tekanan bukan pada analisa teks tetapi membuat pikiran, hati terbuka dan membiarkan Roh Kudus menginspirir arti dari teks.
Teks yg dapat memberi inspirasi untuk ini adalah Yoh 14:27: damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. Analisa teks akan terfokus pada mengapa Yesus katakan itu dan konteksnya pada waktu itu adalah pada perjamuan akhir. Analisa teologis bisa menyatakan bahwa Yesus adalah Anak domba Allah yang membawa damai lewat ketaatanNya kepada kehendak Bapa. Analisa seperti ini sangat dihindari dalam sebuah lectio divina. Fokus dari lectio divina adalah Yesus Kristus sebagai kunci yang menjelaskan teks dan menghubungkan Sabda dengan kita yang merenungkannya. Yang penting di sini adalah bagaimana kita masuk ke dalam damai Kristus dan mengalami damai itu, kemudian mensharekan damai Kristus itu kepada orang lain. Jadi, fokusnya pada mengalami damai lewat persatuan lebih dekat dengan Allah, dengan Kristus. Yang menjadi tujuan adalah communio dengan Allah.
O r a t i o (doa): Berbicara dengan Allah (Tuhan), sesuai dorongan batin yang dibentuk oleh meditasi tadi. Doa berarti percakapan cinta dengan Allah yang mengundang kita ke dalam rangkulan-Nya; tanggapan hati kita terhadap sapaan Tuhan. Setelah Sabda itu berkomunikasi dengan diri kita, yang menyelamatkan, kita memberi tanggapan entah ungkapan syukur bila kita temukan peneguhan atau pertolongan; atau ungkapan tobat bila kita merasakan teguran, ataupun pujian bila kita temukan pernyatakan kebaikan dan kebesaran-Nya. St. Siprianus berkata: “melalui Kitab Suci, Tuhan berbicara kepada kita, dan melalui doa kita berbicara kepada Tuhan”. Jadi ada komunikasi dua arah di sini yakni Tuhan mengkomunikasikan diri-Nya dan kita menyatakan tanggapan kita kepada-Nya. Konstitusi Dei Verbum menjelaskan doa sebagai penghubung kita dengan Allah yang bersabda. Doa adalah kita dan Allah berbicara bersama. Paus Benediktus XVI menyatakan: doa sebagai terang yang menuntun dan sumber tujuan. Sabda Allah adalah suatu lantera bagi kaki kita dan suatu terang bagi jalan kita.
C o n t e m p l a t i o (kontemplasi): kita menghadirkan diri kita di hadirat Allah, membiarkan diri kita dirangkul-Nya atau berada dekat dengan Dia (dibantu dengan ceritera teks); biarkan Dia berbicara dengan kita, menyampaikan kehendak-Nya; dan bila terdorong untuk berbicara dengan Dia, kitapun boleh berdialog dengan Dia. St. Teresia menggambarkan keadaan ini sebagai doa persatuan dengan Allah dimana kita memberi diri kita secara total kepada Allah, menyerahkan sepenuhnya kehendak kita kepada kehendak-Nya. Katekismus Gereja Katolik mendefiniskan kontemplasi sebagai ‘mendengarkan Allah’. Kontemplasi adalah doa hening, simbol dari dunia yang datang, atau cinta yang hening; suatu kebaikan yang ’memberi makan’ kepada cinta kita kita yang lemah. Disini tidak ada kata-kata yang diucapkan tetapi kasih yang dirasakan, dimana Allah mengatakan kepada kita tentang SabdaNya yang berinkarnasi, yang menderita, mati dan bangkit. Dalam keheningan ini, Roh memampukan kita untuk ambil bagian dalam doa Yesus. Roh Kudus berperan sekali dalam kontemplasi ini, Roh Kudus oleh St. Bernardus dari Clairvaux dilukiskan sebagai satu ciuman Bapa Allah yang membiarkan kita mengalami communio dengan Dia dalam kasih, dan memikirkan roh Kudus sebagai pusat daripada kontemplasi. Rahmat adalah buah dari kontemplasi ini.
Latihan praktek Lectio Divina:
Persiapan : tenangkan diri, hening, dan minta Roh Kudus datang untuk menuntun kita
L e c t i o :
membaca teks KS dengan lembut dan perlahan, sambil membuka diri kita kepada Sang
Sabda; membiarkan suara kecil Sang Sabda berbicara kepada kita.
M e d i t a t i o:
Ingat apa yang diceriterakan teks, kata-kata yang menyentuh; biarkan kata-kata itu
berinteraksi di kedalaman diri kita; biarkan diri kita dituntun oleh Roh lewat
kata/ayat/frase yang menarik hati tersebut; biarkan Roh Kudus membawa kita secara
perlahan kepada apa yang Tuhan kehendaki.
O r a t i o:
berbicaralah dengan Tuhan sesuai dorongan batin yang terbentuk oleh meditasi tadi
entah dalam bentuk syukur, pujian, atau pertobatan.
C o n t e m p l a t i o:
kita menghadirkan diri kita di hadirat Allah, membiarkan diri kita dirangkul-Nya dan berada dekat dengan Dia (dibantu dengan ceritera teks); biarkan Dia berbicara dengan kita, menyampaikan kehendakNya; dan bila terdorong untuk berbicara dengan Dia, kitapun boleh berbicara dengan Dia. Kita memberi diri secara total kepada-Nya, menyerahkan sepenuhnya kehendak kita kepada kehendak-Nya;
merasakan kasih-Nya yang penuh, dimana Ia mengatakan kepada kita tentang
SabdaNya yang berinkarnasi, yang menderita, mati dan bangkit untuk menyelamatkan
kita.